MENERAPKAN ATURAN DAN AKUNTABILITAS: STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR DI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, 2006 - 2007 SINOPSIS Pada tahun 2006, seorang ahli ekonomi Indonesia bernama Sri Mulyani Indrawati mencoba untuk mengatasi masalah yang besar dan rumit: menciptakan ketertiban dan efisiensi dalam Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sebuah organisasi dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 64.000 karyawan. Pada waktu itu, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap kementerian tersebut korup dan tidak akuntabel, yang mencontohkan kegagalan pemerintah secara keseluruhan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Sri Mulyani karena reputasinya sebagai seorang pembaharu yang keras dan seorang manajer yang cerdas. Sri Mulyani menganggap sumber penyebab lemahnya kementerian dan ketidakkonsistenan dalam menangani pajak, bea cukai dan layanan lainnya berasal dari kurangnya prosedur yang jelas dan konsisten atas berbagai tugas yang ditangani oleh para karyawan. Unsur utama dari strateginya adalah dengan menyederhanakan dan melakukan standarisasi atas berbagai proses kerja dalam kementerian untuk meningkatkan kinerja karyawan dan akuntabilitas. Selama dua tahun berikutnya, Sri Mulyani dan timnya memfokuskan upaya mereka pada 35 layanan prioritas yang sering digunakan oleh masyarakat, lalu memperluas reformasi dengan menyertakan berbagai kegiatan lainnya. Pada tahun 2007, kementerian tersebut telah mengembangkan dan mengimplementasikan hampir 7.000 buah standar operasional prosedur. Perubahan ini memperbaiki pelayanan publik secara signifikan dan kementerian serta pemerintahan Yudhoyono mendapat pujian baik dari berbagai pihak. Hal ini menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang kuat dan tim reformasinya memperkenalkan cara-cara baru dalam bekerja untuk mencapai hasil yang signifikan dalam hal efisiensi layanan, kualitas dan keadilan. Rushda Majeed menyusun studi kasus ini berdasarkan wawancara yang dilakukan di Jakarta, Indonesia, pada bulan November dan Desember 2011, dan wawancara Sri Mulyani Indrawati tahun 2009 oleh Matthew Devlin dan Andrew Schalkwyk. Studi kasus diterbitkan pada bulan April 2012. PENDAHULUAN Pada bulan Desember 2005, pada hari pertamanya sebagai kepala dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati meminta para stafnya untuk memberikan daftar pedoman para pejabat kementerian untuk dirinya, dan mendapatkan jawaban bahwa protokol seperti itu tidak pernah ada. Dengan mengacu pada insiden dalam pidatonya lima tahun kemudian, Sri Mulyani mengatakan, "Hal ini jelas menggambarkan kurangnya pemahaman yang serius dalam birokrasi Indonesia tentang pentingnya standar operasional prosedur yang jelas dalam pemerintahan dan, secara lebih mendasar lagi, tidak adanya sistem pengecekan yang efektif di kantor-kantor pemerintah."1 Menyadari bahwa prosedur yang tidak jelas dan kontrol yang lemah berkontribusi pada budaya korupsi dan inefisiensi di kementerian, Sri Mulyani dipindahkan untuk mengatasi masalah ini secara langsung sebagai bagian dari agenda reformasi dalam menanggapi ketidakpuasan masyarakat dan kebutuhan ekonomi. Krisis keuangan di Asia pada tahun 1997-98 telah menimbulkan berbagai kesulitan bagi masyarakat Indonesia dan memicu protes luas yang mengakhiri kediktatoran militer Presiden Suharto selama 32 tahun. Meskipun efek dari krisis keuangan dan peraturan yang keras di masa pemerintahan Suharto bertahan selama bertahun-tahun, pemerintahan berikutnya melonggarkan pembatasan terhadap partai-partai politik dan kelompok-kelompok sipil, penyelenggaraan pemilihan umum, membantu merevisi konstitusi, dan mulai memodifikasi struktur pemerintahan. Pada tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru terpilih berjanji untuk merekonfigurasi sektor publik agar menjadi lebih transparan dan efektif. Merombak Kementerian Keuangan sangatlah penting untuk memenuhi janji Presiden Yudhoyono. Keberhasilan dari rencana reformasi besarnya, termasuk peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur, terletak pada penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Kementerian Keuangan. Perusahaan swasta mengandalkan kementerian ini untuk memfasilitasi pergerakan arus barang melalui bea cukai, untuk memberikan lisensi/izin yang diperlukan dengan cepat, dan untuk melaksanakan kegiatan bisnis normal lainnya secara efisien. Masyarakat mengandalkan kementerian ini untuk mengoordinasikan pembayaran dan restitusi pajak secara adil dan tepat waktu. Kementerian ini juga mengatur dan memberi izin fungsi-fungsi pasar saham, mengelola dan menjaga aset-aset pemerintah, dan menyediakan layanan-layanan lainnya. Tak lama setelah menjabat, Yudhoyono menunjuk Sri Mulyani, seorang ekonom Indonesia yang saat itu bekerja untuk Dana Moneter Internasional, sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang bertanggung jawab atas rencana pembangunan lima tahun di Indonesia. Sri Mulyani dengan cepat memperoleh reputasi sebagai seorang manajer dan ahli strategi yang cerdas, dan di bulan Desember 2005, Presiden menunjuknya sebagai Menteri untuk mengelola perbaikan dalam Kementerian Keuangan. Meski perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih dari krisis keuangan regional, terjadinya surplus anggaran dan penguatan ekonomi global meyakinkan Sri Mulyani bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reformasi besar-besaran. Pada awal tahun 2006, dia memberi saran kepada Presiden untuk memulai reformasi di bidang keuangan publik dan pelayanan sipil secepatnya: "Kita harus melakukan reformasi saat situasi sedang baik, karena situasi ini tidak akan bertahan selamanya. ... Ini adalah waktu yang tepat. Kita tidak sedang berada dalam posisi mempertaruhkan anggaran kita, [dan] pikiran kita sedang tidak dipenuhi oleh krisis yang terjadi. Kita dapat melakukannya dengan baik dan dengan cara damai; kita bisa mendiskusikannya dengan DPR secara rasional, dan orang-orang juga bisa sabar untuk menunggu hasilnya." TANTANGAN Sri Mulyani mengetahui luas dan rumitnya tantangan yang dihadapinya. Departemen inti dalam kementeriannya menangani hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, bea cukai, anggaran, akuntansi, lelang, pasar modal, obligasi pemerintah, neraca fiskal, regulasi, pendidikan dan pelatihan, dan kebijakan fiskal. Di seluruh jajaran kementerian ini, kurangnya akuntabilitas-yang sebagian besar berasal dari tidak adanya prosedur yang jelas-telah menyebabkan buruknya kinerja karyawan dan terjadinya korupsi yang merajalela, yang pada akhirnya menghasilkan pelayanan publik di bawah standar dan citra publik yang buruk. Praktik-praktik bisnis di kementerian sering serampangan dan tidak efisien. Akibat kurangnya prosedur dan instruksi operasi tertulis yang jelas, banyak karyawan mencoba untuk mengikuti pedoman yang tercantum dalam dokumen hukum atau kebijakan departemen. Menurut Marwanto Harjowiyono, Direktur Jenderal neraca fiskal tahun 2011: "Pada waktu itu, birokrasi kita memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan sejumlah inefisiensi. Kita tahu bahwa kita harus mengklarifikasi proses bisnis dalam mencapai status sebagai pegawai negeri sipil yang profesional, efisien dan bertanggung jawab. Hal itu tidaklah mudah." Selain menghambat penyediaan layanan, pendekatan ad hoc yang dilakukan oleh banyak dari karyawan kementerian telah menciptakan sebuah celah yang besar dalam memori institusional. Saat para pegawai negeri meninggalkan posisi mereka, prosedur dan proses yang telah berjalan sering hilang bersama diri mereka. Anies Basalamah, Kepala Biro Organisasi dan Proses Bisnis pada tahun 2011, mengatakan, "Sebelum reformasi, proses internal kami tertutup, dan hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Orang bekerja dengan caranya masing-masing tanpa standar yang jelas, jadi sangat mungkin [bahwa] saat mereka pergi, kelompok atau orang berikutnya akan menggunakan cara yang lain." Deskripsi pekerjaan yang tidak memadai dan tidak lengkap untuk para staf juga memberikan kontribusi pada kebingungan para pegawai negeri dan menghambat para manajer dalam meminta pertanggung jawaban atas apa yang karyawan lakukan dan tidak lakukan. Sylvano Damanik, direktur pengelola dari Hay Group, sebuah perusahaan konsultan yang memberi saran kepada kementerian dalam hal reformasi pelayanan sipil, mengatakan: "Staf administrasi ada sekitar 40.000 orang, dan di sanalah terdapat banyak pertanyaan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Walaupun beberapa posisi jabatan teratas memiliki uraian tugas yang jelas, staf pendukung tidak memilikinya. Masalahnya adalah bagaimana caranya mempersingkat aktivitas kementerian di tingkat menengah dan bawah." Karena mereka memiliki kelonggaran yang luas dalam cara mereka melakukan bisnis, para karyawan kementerian memiliki banyak kesempatan untuk menerima uang suap dan bentuk-bentuk korupsi lainnya. Dengan tidak adanya prosedur yang ditetapkan, mereka bisa meminta tanda tangan ganda, misalnya, dengan setiap titik penandatanganan menghadirkan kesempatan untuk memperoleh pembayaran khusus. Para staf juga dapat membuat prosedur yang rumit dan memakan waktu, yang mendorong masyarakat untuk membayar biaya tertentu agar mendapat layanan yang cepat. Dan jika karyawan kementerian dapat menyesuaikan proses dengan cara apa pun yang mereka inginkan, masyarakat tahu bahwa mereka bisa meminta pertimbangan khusus-dengan harga tertentu. Korupsi sangat akut di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, Manajemen Aset Negara, dan Keuangan, yang semuanya menawarkan berbagai layanan berbeda kepada masyarakat. Pada tahun 2005, Indonesia menempati peringkat 137 dari 158 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi tahunan menurut Transparency International, suatu ukuran persepsi korupsi dari masyarakat terhadap sektor publik. Indonesia mendapat nilai 2,2 dari skala 10 (dengan nilai 0 sebagai sangat korup), yang secara kasar setingkat dengan Ethiopia, Liberia dan Irak, dan lebih buruk dari negara tetangga Filipina (2,5) dan Malaysia (5,1). Kementerian Keuangan secara signifikan memberikan kontribusi terhadap persepsi korupsi ini. Harjowiyono mengingat: "Ada banyak korupsi dalam kementerian. Saat kita masuk untuk melakukan reformasi, kita diberi pandangan sinis oleh beberapa karyawan dan bahkan mereka bertanya tentang apa yang akan mereka dapatkan sebagai imbalan dari reformasi." Tidak mengherankan, pelayanan publik pada umumnya buruk dan tidak konsisten. Harjowiyono berkata, "Kualitas layanan kita berada di bawah standar, dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan layanan sangatlah lama." Para nasabah di kantor pajak dapat menunggu hingga selama tiga hari hanya untuk mendapatkan satu nomor identifikasi pajak atau selama tujuh hari hanya untuk mendapatkan satu nomor pajak pertambahan nilai. Restitusi pajak bisa memakan waktu hingga setahun. Di kantor bea cukai, para wisatawan dan pengusaha sering menunggu selama berhari-hari hanya untuk mendapatkan izin masuk atas barang-barang mereka. Penundaan seperti itu, serta kesulitan atas penundaan yang ditimbulkan pada masyarakat dan bisnis, mengganggu tujuan kementerian keuangan pada skala yang lebih luas, termasuk tujuannya untuk memperluas basis pajak di Indonesia. "Kita harus mereformasi birokrasi demi kualitas pelayanan," kata Harjowiyono. "Salah satu tujuan utama kita adalah untuk meningkatkan layanan dengan jangka waktu yang lebih singkat dan berkualitas, dan kita ingin menjamin kepastian tersebut kepada para nasabah." Kualitas layanan rutin yang umumnya buruk, ditambah dengan budaya suap di beberapa departemen, membuat masyarakat luas merasa yang tidak puas, curiga dan tidak percaya. Sri Mulyani tahu bahwa membalikkan opini publik yang negatif dan memulihkan kepercayaan masyarakat sangatlah penting untuk membangun dukungan yang dia perlukan dalam melakukan reformasi layanan publik di kementerian secara luas. Dia juga tahu bahwa hal itu tidak akan mudah untuk dilakukan. "Kementerian Keuangan atau pemerintah pada umumnya tidak dipercaya oleh masyarakat, dan selalu dipandang sebagai institusi yang korup," katanya. "Bagaimana mungkin kita bisa hidup di sebuah lembaga yang dianggap memalukan oleh masyarakat publik?" MENETAPKAN TANGGAPAN Untuk mencapai tujuannya, Sri Mulyani harus membangun dukungan internal dengan tim yang kuat, mengembangkan dan menyebarluaskan basis pengetahuan yang mendalam tentang proses dan prosedur, membuat langkah-langkah kemenangan yang cepat untuk mendapatkan dukungan publik dan legislatif dalam melakukan reformasi kementerian, dan menetapkan struktur kelembagaan untuk memastikan pelaksanaan, tindak lanjut dan keberlanjutan yang efektif. Sri Mulyani membentuk tim pegawai negeri sipil tingkat tinggi dari dalam jajaran kementerian. Kelompok intinya terdiri dari Sekretaris Jenderal Mulia Nasution, kepala pusat operasi kementerian dan sebagai wakil dari Sri Mulyani; Harjowiyono, yang mengepalai bagian hubungan masyarakat kementerian pada saat itu; dan Juni Hastoto, Kepala Biro Organisasi dan Bisnis proses, sebuah kantor yang bertanggung jawab terhadap prosedur di berbagai kementerian. Prioritas utama Sri Mulyani adalah untuk merekrut para manajer terbaik dalam mendukung tindakannya. "Sebagai suatu kelompok, para eselon tingkat atas dari Kementerian Keuangan tidak tertarik atau bersemangat dengan ide reformasi yang ada," menurutnya. "Respon mereka terhadap ide reformasi adalah bahwa reformasi memang baik-dan sangatlah penting-tetapi mereka berpikir bahwa ide reformasi tersebut tidak bisa dilakukan karena terlalu besar dan luas. Mereka tidak bisa menerjemahkannya menjadi sesuatu hal yang bisa dikerjakan." Dia bertemu dengan mereka dan mendorong mereka untuk menggambarkan dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan yang bertentangan dalam kementerian. Harjowiyono mengingat: "Menteri mengundang semua Direktur Jenderal untuk memutuskan apakah penting untuk melakukan reformasi atau tidak. Beberapa orang mendukungnya, ada yang diam saja, dan sebagian lainnya bersikap acuh tak acuh." Dalam diskusi awal tersebut, Sri Mulyani memperhatikan proyek percontohan yang diluncurkan empat tahun sebelumnya di Direktorat Jenderal Pajak: Pada tahun 2002, di bawah pimpinan Menteri Keuangan Boediono (yang hanya terdiri dari satu nama saja), Direktorat Jenderal Pajak mulai melakukan klarifikasi prosedur dengan mengembangkan instruksi tugas khusus bagi para pegawai negeri sipil. Robert Pakpahan, penasihat senior Menteri Keuangan pada tahun 2011 dan sebelumnya menjabat di Direktorat Jenderal Pajak, mengatakan: "Kami memulai reformasi pada tahun 2002 dengan keterlibatan Dana Moneter Internasional, dengan tujuan untuk memperbaiki proses kerja kita. Dimulai pada tahun 2002, reformasi tersebut dilakukan secara bertahap di dalam jajaran Direktorat Jenderal Pajak." Sri Mulyani berencana untuk mengatasi masalah-masalah dalam Kementerian Keuangan dengan berfokus tiga bidang utama: proses, organisasi dan manajemen kinerja. Fokus dari proses ini sangatlah ambisius dan penting bagi keberhasilan dari seluruh upaya reformasi ini. Hal ini membutuhkan pengembangan standar operasional prosedur yang jelas, ringkas dan masuk akal, atau SOP dalam bentuk petunjuk, grafik dan diagram kerja langkah-demi-langkah untuk melakukan transaksi bisnis dan memberikan pelayanan publik yang baik di pusat kementerian dan di seluruh jajaran 11 Direktorat Jenderal yang ada. Panduan tertulis yang jelas, berdasarkan prosedur yang telah diujicoba sebelumnya, akan memberikan arahan yang jelas yang dibutuhkan oleh pegawai negeri sipil dalam melakukan pekerjaan mereka dengan baik, dan akan menghilangkan ketidakpastian yang menjadi akar dari korupsi. Sri Mulyani tahu bahwa dia harus membangun dukungan publik dan legislatif yang kuat agar dapat berhasil dalam upaya reformasinya. Dengan tujuan untuk menciptakan citra publik yang positif bagi kementerian secepat mungkin, dia memutuskan untuk melakukan reformasi pada sejumlah layanan yang melibatkan interaksi langsung dengan masyarakat dan bisnis. Rionald Silaban, yang menjadi direktur di Kantor Kebijakan Fiskal pada tahun 2006, berkata: "Dalam rangka memperbaiki birokrasi, kita harus menyederhanakan prosedur, berfokus pada beberapa layanan publik secara langsung, dan benar-benar memperbaiki kinerja kita terhadap publik. Kita mengerti bahwa ada kebutuhan-kebutuhan tertentu, dan dengan memiliki SOP, orang-orang akan tahu berapa lama waktu yang mereka butuhkan, dan mereka akan memiliki harapan saat hal-hal tersebut dilaksanakan." Sri Mulyani dan timnya mengidentifikasi 35 area prioritas yang apabila layanannya diperbaiki, akan menghasilkan dukungan publik yang dapat mendorong momentum perubahan. Strategi mereka merumuskan bahwa pengakuan publik terhadap keberhasilan seperti itu akan menggarisbawahi efektivitas reformasi, yang pada akhirnya akan menghasilkan dukungan legislatif terhadap rencana Sri Mulyani lainnya, termasuk peningkatan gaji para pegawai negeri. Pada awal tahun 2006, Sri Mulyani mulai membangun struktur kelembagaan untuk melakukan reformasi pada layanan sipil. Dia memimpin komite pengarah papan atas yang terdiri dari Sekretaris Jenderal Nasution dan 11 Direktur Jenderal lainnya. Di bawah komite pengarah, tim reformasi inti yang terdiri dari 10 anggota mengawasi jalannya reformasi di seluruh bagian kementerian. Harjowiyono mengelola kegiatan operasional sehari-hari dari tim inti, dan Hastoto menjabat sebagai sekretaris. Selain dari reformasi layanan sipil, tim inti juga memimpin pengembangan dan pengelolaan dokumen prosedur, melakukan konseling para manajer di berbagai kantor tentang bagaimana cara mempersingkat prosedur dan memproses dokumen. Dan tim ini juga meninjau dan merevisi SOP-SOP yang telah dibuat oleh para pegawai negeri sipil. Unit lapis kedua di masing-masing direktorat jenderal bertanggung jawab dalam melaksanakan reformasi layanan sipil melalui para pegawai rendah di kementerian. Seorang manajer SOP dalam unit-unit tersebut bekerja sama dengan para pegawai negeri sipil dalam mendokumentasikan prosedur, memberikan bimbingan, dan mencari nasihat atau persetujuan dari tim tingkat atas. Manajer SOP dan timnya juga memiliki tugas jangka panjang untuk meninjau dan merevisi dokumen prosedur yang diperlukan. Tindak lanjut sangatlah penting. Inspektur Jenderal Agus Muhammad memimpin 10 orang anggota khusus yang bertanggung jawab dalam melacak pelaksanaan reformasi di berbagai kantor pemerintahan dan mengevaluasi kualitas dari reformasi yang telah dilakukan. Sonny Loho, Inspektur Jenderal di tahun 2011, berkata: "Kita memiliki sembilan area reformasi, dan salah satunya adalah mengembangkan kontrol internal. Sebagai unit yang bertugas untuk melakukan pemantauan, tim evaluasi mencoba untuk membantu tim reformasi inti dalam menerapkan SOP." Area-area lain di antaranya adalah reorganisasi direktorat dan departemen dalam kementerian, pengukuran dan peningkatan kinerja karyawan, pelatihan, peningkatan gaji, dan peningkatan teknologi. Bagi para anggota tim reformasi inti dalam kementerian, langkah penting awal yang harus dilakukan adalah dengan memetakan kebutuhan inti untuk menciptakan SOP yang valid dan fungsional. Silaban berkata, "Saat Sri Mulyani menetapkan kelompok reformasi, ini menjadi tim reformis pertama di seluruh negeri, jadi tidak ada pedoman sama sekali." Tim reformasi ini melakukan studi banding ke negara-negara lain untuk mendapatkan ide-ide dan praktik-praktik terbaik. Harjowiyono berkata, "Kami mencoba untuk belajar dari beberapa negara yang ada pada saat itu, seperti Inggris, Singapura, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru." Anggota tim juga meminta saran dari para konsultan dan organisasi-organisasi seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Perjalanan penelitian dan diskusi yang mereka lakukan memberikan para anggota tim ide-ide tentang bagaimana cara menilai prosedur saat ini dan bagaimana cara memperbaiki dan melakukan standarisasi terhadap prosedur yang ada. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, tim reformasi inti membuat serangkaian prinsip: SOP untuk semua fungsi-fungsi dalam kementerian harus bersifat sederhana, transparan, efisien dan hemat biaya, dan mereka harus memastikan ketepatan waktu dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip ini akan berlaku sama untuk semua prosedur yang ada-misalnya, untuk layanan-layanan seperti penerbitan nomor identifikasi pajak atau otorisasi akuntan pasar saham, meskipun proses-proses spesifiknya berbeda. Pada akhir tahun 2006, Sri Mulyani menerbitkan Keputusan Menteri yang mewajibkan semua kantor kementerian untuk membuat dan menerapkan SOP, dan menyediakan pedoman untuk menjalankannya. Silaban menggambarkan pentingnya langkah formal seperti itu: "Di Indonesia, harus ada surat keputusan dari menteri jika ada perubahan dalam sebuah organisasi, seperti restrukturisasi. Untuk tugas baru, harus ada surat keputusan, dan setiap orang yang disebutkan dalam surat keputusan tersebut harus mengambil bagian dalam perubahan yang ada." Tim reformasi inti bekerja sama dengan Sri Mulyani dalam membuat dokumen, yang mencantumkan informasi praktis tentang bagaimana cara menilai biaya dari suatu prosedur, mengukur persyaratan waktu, menulis deskripsi, dan menggambar diagram alur proses. Pembuatan SOP akhir akan melibatkan para pegawai negeri sipil yang melakukan pekerjaan di lapangan, dengan dukungan dan bantuan dari tim reformasi tingkat kedua dan tingkat atas. Sadar bahwa implementasi yang efektif juga membutuhkan akuntabilitas dari para karyawan, Sri Mulyani mengembangkan berbagai cara untuk memastikan bahwa para pegawai negeri sipil akan mengikuti prosedur tertulis mereka yang baru. Dia memastikan bahwa para manajer dan staf memprioritaskan penciptaan dan pelaksanaan SOP dengan memasukkan tugas-tugas tersebut ke dalam evaluasi kinerja mereka. Indikator kinerja utama, yang menyentuh semua bidang reformasi, kemudian membentuk dasar pemantauan dan penegakan dari penggunaan SOP. MULAI BEKERJA Keinginan pribadi dan gaya manajemen langsung dari Sri Mulyani ikut membentuk pengawasannya terhadap reformasi. Dia bekerja sama dengan para manajer untuk memastikan bahwa reformasi berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan. Dan dia sering bertemu dengan para manajer ini, setiap minggu, untuk melakukan diskusi tentang masalah dan solusi yang ada. Menetapkan prioritas untuk mendapatkan kemenangan yang cepat Pada awal tahun 2007, tim reformasi ini melakukan survei terhadap layanan kementerian dan bertemu dengan para Direktur Jenderal untuk mengidentifikasi layanan publik berprofil tinggi yang perbaikan proseduralnya mungkin dapat menghasilkan respon positif dari masyarakat. Survei ini menanyakan pertanyaan-pertanyaan seputar pelanggan atas layanan-layanan tertentu dan waktu yang diperlukan untuk pengerjaan setiap layanan yang ada. Harjowiyono dan timnya bekerja sama dengan para Direktur Jenderal untuk berfokus pada layanan dengan tingkat permintaan tinggi yang menjadi sasaran kemarahan publik karena tindakan pelayanan yang lambat atau tidak memuaskan. Dengan masukan dari para Direktorat Jenderal Anggaran, Keuangan, Bea dan Cukai, Perpajakan, dan Manajemen Aset serta Pasar Modal-kantor-kantor pemerintahan yang berurusan langsung dengan masyarakat-Sri Mulyani dan tim reformasinya mengidentifikasi 35 layanan yang dapat diperbaiki dengan relatif lebih cepat dan akan mendatangkan dukungan publik paling tinggi. Untuk setiap dari 35 bidang prioritas ini, para reformis ini berusaha menciptakan SOP yang sangat baik atau cepat untuk memenangkan dukungan masyarakat, yang menetapkan standar yang jelas mengenai ketepatan waktu dan aspek-aspek penting penyediaan layanan lainnya. Salah satu daerah sasaran, misalnya, melibatkan penyediaan nomor identifikasi pajak, karena Wajib Pajak sering mengeluh tentang lamanya waktu yang diperlukan untuk memproses aplikasi yang diperlukan. Direktorat pajak membagi prosesnya menjadi beberapa langkah yang berbeda dalam memproses pendaftaran wajib pajak, dimulai dengan menginformasikan kepada setiap nasabah tentang aplikasi, biaya terkait dan lamanya waktu yang diperlukan. Langkah berikutnya akan melibatkan pengumpulan informasi aplikasi yang diperlukan dan dokumen pendukung dari nasabah, memproses aplikasi dan memperbarui catatan internal, dan, terakhir, memberitahu nasabah bahwa pendaftaran telah selesai. Pakpahan berkata: "Kita berjanji kepada masyarakat, misalnya, bahwa kantor pajak akan memproses dan melengkapi nomor identifikasi pajak dalam waktu satu hari, dan bukan dalam waktu satu minggu. Bahkan, Sri Mulyani menegaskan bahwa pekerjaan ini seharusnya memakan waktu kurang dari satu hari saja." Di Direktorat Jenderal Manajemen Aset dan Pasar Modal, tim reformasi lapis kedua bekerja sama dengan para pegawai negeri sipil untuk menyederhanakan langkah-langkah kerja dan mengurangi waktu yang dibutuhkan bagi para pialang saham untuk mendapatkan izin kerja. SOP prioritas di dalam jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menargetkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan impor dan ekspor barang. Di bagian Keuangan, prosedur baru ditujukan untuk mengurangi waktu pembayaran dari anggaran yang dibutuhkan, dari dua hari menjadi hanya dua jam saja. Tim inti Harjowiyono bekerja sama dengan tim reformasi tingkat kedua di Direktorat Jenderal untuk membuat dokumen prosedur baru bagi 35 area prioritas utama. Para manajer SOP dan timnya bekerja sama dengan para pegawai negeri sipil yang berhadapan langsung dengan para nasabah dalam menentukan prosedur kerja yang tepat. Puspita Wulandari, manajer SOP di Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2011, mengatakan: "Kami menetapkan proses ke dalam SOP, kadang-kadang dilengkapi dengan diagram alur, sehingga orang-orang bisa memvisualisasikan dan tahu siapa yang akan melakukannya apa dan kapan. Dengan standarisasi, orang-orang tahu tanggung jawab mereka dan tahu hasil apa yang harus mereka berikan kepada orang atau unit berikutnya." Pada pertengahan tahun 2007, para pegawai negeri sipil di seluruh Indonesia menerima dokumen prosedur baru bagi ke-35 area ini. Harjowiyono berkata, "Kita menyebarluaskan SOP yang sangat baik ini ke semua kantor, termasuk kantor pajak dan bea cukai regional dan lokal." Dedi Syarif Usman, yang mengelola SOP di Direktorat Jenderal Pengelolaan Aset dan Pasar Modal, berkata bahwa para manajer menjelaskan pentingnya implementasi yang ketat kepada para staf mereka: "Kita harus mengikuti SOP yang baik ini sebagai janji kita kepada masyarakat. Tidak akan ada biaya lainnya, termasuk suap. Kita bertujuan untuk meningkatkan kepuasan masyarakat dan mendapatkan kepercayaan publik dalam membangun dukungan atas reformasi layanan sipil." Kementerian mempublikasikan SOP prioritas tersebut secara luas untuk menunjukkan bagi para Warga Negara Indonesia bahwa pemerintah mereka bekerja keras untuk memperbaiki cara bisnis seharusnya dilakukan. Sri Mulyani mengadakan konferensi pers dan tampil di hadapan televisi untuk menampilkan kemajuan yang terjadi dalam 35 area prioritas ini. Harjowiyono berkata: "Media menyukai Sri Mulyani saat dia berbicara. Untuk SOP yang sangat baik, kami mengadakan konferensi pers, dan Sri Mulyani bahkan berbicara dalam acara talk show di TV." Kementerian juga mengadakan lokakarya dengan para nasabah yang menggunakan layanan prioritas, yang kadang-kadang melibatkan rekan-rekan kerja dari lembaga lainnya. Contohnya, lokakarya tentang impor dan ekspor menyertakan perwakilan dari otoritas pelabuhan. Kementerian Keuangan kemudian menyebarkan booklet yang mempublikasikan ke-35 SOP prioritas ini. Dengan menempatkan kotak pengaduan di kantor pos dan mendirikan pusat panggilan, Sri Mulyani dan timnya juga mempermudah masyarakat untuk melaporkan masalah dan kekurangan yang terjadi di lapangan. Harjowiyono berkata, "Kita mengizinkan pengaduan melalui faks, surat dan panggilan telepon, sehingga nasabah dapat mengajukan keluhan bila mereka diperlakukan dengan tidak adil." Pakpahan menambahkan: "Kita ingin menunjukkan bahwa kementerian ini telah berubah, dan kami berjanji kepada masyarakat atas ke-35 SOP ini. Kita telah mengumumkan kepada masyarakat, dan mereka dapat memeriksa layanan yang ada. Jika para pegawai negeri sipil melanggar apa yang kita telah katakan sebelumnya, maka Anda dapat memberitahukannya kepada kita." Pendidikan para nasabah memegang peranan penting dalam reformasi. "Tantangan bukan hanya berasal dari para petugas kita, tetapi juga dari masyarakat," menurut Harjowiyono. "Misalnya, untuk mengajukan restitusi pajak, kita memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila nasabah lupa untuk memenuhi salah satunya, dia harus melengkapinya dan kembali ke kantor pajak lagi. Cara lama akan mengatakan bahwa Anda dapat memberikan uang suap kepada kami dan membawa dokumennya nanti. Reformasi ini memerlukan pemberian keyakinan pada para nasabah bahwa Anda harus melengkapi semua persyaratan yang ada tanpa membayar uang kepada petugas. Mendidik para nasabah membutuhkan waktu yang cukup lama." Harjowiyono dan timnya menginstruksikan kepada para pegawai negeri sipil yang berhadapan langsung dengan para nasabah untuk menempatkan instruksi, brosur dan poster yang mencolok. "Kita meminta setiap kantor untuk menempatkan alur kerja dari SOP di kantor depan, sehingga orang-orang tahu tentang SOP yang harus diikuti," katanya. Di kantor perpajakan, misalnya, diagram atau lembar pemberitahuan akan menginformasikan konter layanan mana yang harus dikunjungi bagi para nasabah yang ingin mengajukan restitusi pajak, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengajukan restitusi, dan dokumen-dokumen apa yang diperlukan. Melembagakan prosedur dalam Kementerian Seiring dengan upaya perbaikan dalam 35 area prioritas ini, tim Hastoto di Biro Organisasi dan Proses Bisnis berkoordinasi dengan tim reformasi tingkat kedua dalam mengembangkan SOP untuk proses kerja kementerian lainnya, termasuk proses-proses kerja antar departemen. Pakpahan berkata, "Semua Direktorat Jenderal atau departemen harus mengembangkan atau membuat SOP untuk semua proses yang ada, beberapa dari SOP ini berdiri sendiri atau hanya SOP biasa. Tetapi ada beberapa SOP yang terkait dengan proses kerja di seluruh bagian departemen, di mana pegawai negeri sipil harus bekerja sama dengan bagian dari departemen yang berbeda." Prosedur lintas departemen tersebut sangatlah berharga, misalnya, bagi pegawai negeri sipil yang menangani aplikasi restitusi pajak, karena Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan verifikasi dengan Direktorat Jenderal Anggaran untuk mengetahui apakah pembayaran dapat dilakukan dari pihak Keuangan. Para Direktur Jenderal menerbitkan surat keputusan yang menggarisbawahi format pembuatan SOP di sektor kerja mereka. Surat Keputusan tersebut berisi pedoman yang didasarkan pada peraturan perundangan dan ketentuan yang berlaku bagi unit kerja mereka. Misalnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus mempertimbangkan hukum dan standar internasional sebelum memutuskan pembuatan praktik terbaik dan SOP. Pembuatan dokumen prosedur terperinci akan melibatkan proses kerja yang sulit. Silaban berkata: "Direktorat Jenderal Anggaran, Pajak dan lainnya mengoordinasikan tim untuk membuat dokumentasi ini. Lalu semua orang mulai menulis SOP. Setelah kita mulai, kita menyadari bahwa kita harus membuat serangkaian daftar proses. Di masa lalu, kita jarang melakukan hal tersebut. Kita harus memetakan proses-proses bisnis dan rancangan keseluruhan dari kantor kita [secara] terperinci." Pakpahan menambahkan bahwa tenggat waktu yang ketat membuat pekerjaan ini menjadi lebih menantang: "Kita berusaha keras mewujudkannya karena kita tidak diberi banyak waktu untuk melakukannya. Dalam waktu dua atau tiga bulan, Direktorat Jenderal Pajak harus membuat 2.000 SOP. Kita mengajukan SOP ini kepada tim reformasi, yang kemudian memeriksa proses kerja dan melihat dokumentasi yang ada." Dengan bantuan tim Hastoto, para pegawai negeri sipil di setiap kantor memeriksa proses kerja, menyederhanakannya, dan mendokumentasikan prosedur kerja yang telah direvisi secara mendetail. Tim reformasi inti bekerja sama dengan unit reformasi dan pegawai negeri sipil yang langsung berhadapan dengan masyarakat di setiap direktorat jenderal dalam menentukan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap langkah dalam prosedur dan untuk memastikan bahwa ada karyawan yang bertanggung jawab terhadap setiap langkah secara spesifik. SOP akhir harus mencakup semua bagian dari proses kerja dan mengamati semua persyaratan normal dari rantai komando yang ada. Karena para manajer harus mengumpulkan informasi tentang prosedur, personil, waktu dan biaya dari semua kantor pemerintahan di bawah lingkup kerja mereka, tugas mereka sangatlah intensif. Usman dari Direktorat Jenderal Manajemen Aset dan Pasar Modal menjelaskan pendekatan yang dilakukannya: "Saat kita membuat SOP pada tahun 2007, kita mengundang orang-orang dari seluruh direktorat dan dari kantor-kantor regional dan kantor-kantor pelayanan ke Jakarta. Kita mengadakan beberapa pertemuan. Untuk menyelesaikan SOP menjelang akhir tahun 2007, kami pergi ke luar Jakarta selama satu minggu dan membawa serta 30 orang dari kantor ini, ditambah dengan perwakilan dari kantor regional dan kantor pelayanan. Kita menyelesaikan 970 SOP dalam waktu satu minggu." Setelah tim Hastoto menyetujui SOP, dokumen tersebut akan diserahkan kepada Nasution, yang bertindak sebagai Sekjen yang memiliki kewenangan akhir untuk menyetujui implementasi dari SOP tersebut atau tidak. Beberapa prosedur lebih sulit untuk didokumentasikan, khususnya prosedur yang tanggung jawab pekerjaannya tidak jelas atau bila lebih dari satu kantor yang terlibat dalam prosedur kerja ini. Panca Putra Jaya dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, mengatakan, "Kadang-kadang kantor regional menyesuaikan praktik-praktik tertentu untuk fleksibilitas mereka sendiri, yang dalam beberapa kasus tertentu dapat menyebabkan perselisihan tentang siapa yang bertanggung jawab atas suatu pekerjaan tertentu." Untuk mengatasi masalah tersebut, tim reformasi memeriksa pedoman hukum seperti peraturan perundangan dan peraturan kementerian atau mengundang pegawai negeri sipil untuk membahas dan menyelesaikan ketidakpastian tentang siapa yang seharusnya melakukan tugas tertentu. Direksi umum menandatangani uraian tugas yang telah revisi setelah para manajer menyelesaikan perselisihan yang ada, beberapa di antaranya membutuhkan diskusi dan konsultasi selama beberapa kali. Prosedur yang membingungkan atau yang melibatkan sejumlah besar pegawai negeri sipil dibagi menjadi prosedur-prosedur yang lebih sederhana bila dimungkinkan. Misalnya, saat merevisi prosedur mengenai lelang pemerintah, Direktorat Jenderal Manajemen Aset dan Pasar Modal memutuskan untuk memisahkan satu SOP menjadi enam SOP terpisah. Pengembangan SOP lintas departemen sangatlah sulit, kadang-kadang membutuhkan waktu hingga enam bulan, yang diakibatkan karena jumlah orang dan proses kerja yang terlibat di dalamnya. Untuk menerapkan SOP, para manajer dan tim mereka mengirimkan surat keputusan dan dokumen prosedur ke kantor-kantor regional, lokal dan kantor pelayanan. Selain mengirim salinan surat melalui pos atau mengirim dokumen secara elektronik, mereka juga mengunggah SOP tersebut ke basis data internal dan situs-situs web yang ada. Prosedur yang melibatkan masyarakat ditampilkan di situs web kementerian. Melihat deskripsi terperinci, diagram dan persiapan yang diperlukan, para manajer berharap para pegawai negeri sipil mampu melaksanakan SOP ini tanpa membutuhkan pelatihan tambahan yang bersifat intensif. Memastikan kepatuhan dan pemantauan pelaksanaan Pada bulan Oktober 2007, menindaklanjuti diskusi strategi intensif antara Sri Mulyani dan para manajer tingkat atasnya, dan sebagai bagian dari reformasi layanan sipil secara keseluruhan, tim inti menetapkan indikator kinerja utama bagi para manajer tingkat tinggi. SOP, yang menjelaskan prosedur dan menetapkan tanggung jawab pekerjaan yang ada, menjadi alat yang berguna untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja karyawan di seluruh tingkatan kementerian. Memang, hampir semua kinerja pegawai negeri sipil dapat diukur dengan seberapa baik mereka memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan penciptaan, revisi dan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam SOP. Biro Organisasi dan Proses Bisnis menetapkan target tahunan untuk jumlah SOP yang dibuat atau direvisi oleh Direktorat Jenderal, dan hal ini dimasukkan ke dalam indikator kinerja utama. Direksi umum kemudian menetapkan target untuk unit-unit di bawah mereka dan meminta pertanggung jawaban dari para karyawan. Biro ini mengawasi pelaksanaan SOP dengan ketat. Yonathan Tangdilintin, seorang anggota tim biro pengawasan, mengatakan: "Salah satu peran kami adalah untuk memastikan bahwa setiap orang mengikuti SOP yang ada: manajer atau petugas tingkat atas, menengah hingga tingkat terbawah sekalipun. Kita harus melakukan sinkronisasi atas setiap kegiatan yang dilakukan, dari satu tingkat ke tingkat yang berikutnya." Biro ini mewawancarai pegawai negeri sipil di seluruh negeri dan melakukan survei publik terhadap kualitas pelayanan, yang lebih berkonsentrasi pada 35 area prioritas yang ditetapkan. Pada akhir tahun 2007, Inspektorat Jenderal, kantor audit internal kementerian, juga mulai memeriksa kantor-kantor regional dan lokal atas kualitas layanan dan kepatuhan terhadap prosedural yang ditetapkan. Inspektur Jenderal Loho mengatakan: "Kita menggunakan empat parameter untuk meninjau SOP: waktu, biaya, tahapan SOP, dan orang yang bertanggung jawab." Sri Mulyani melacak perkembangan pelaksanaan SOP dalam pertemuan triwulanan. "Pada awal pelaksanaannya, semua Direktur Jenderal bertemu, dan kita menyajikan data sebagai masukan bagi mereka dalam mengevaluasi pekerjaan mereka, khususnya yang berkaitan dengan SOP," tambah Loho. Merevisi prosedur Para pemimpin reformasi menyadari bahwa meskipun standardisasi dan efisiensi penting, sistem yang ada juga harus bersifat fleksibel. Prosedur berubah saat menteri atau Direktur Jenderal merevisi surat keputusan atau saat suatu kantor direstrukturisasi. Revisi juga datang dari para manajer SOP di Direktorat Jenderal, yang secara terus-menerus mengevaluasi tugas dan fungsi yang ada. Dan kantor regional dan lokal atau departemen lainnya meminta perubahan untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik mereka sendiri. Usman dari Direktorat Jenderal Manajemen Aset dan Pasar Modal mengatakan: "Kita meminta kepada para staf agar mereka tidak ragu untuk memberikan informasi kepada kita bila mereka melihat adanya suatu kesalahan yang terjadi. Sebagai contoh, staf kita di Palembang, Sumatera Selatan, bertanya apakah mereka bisa merevisi empat dari 10 formulir yang biasa mereka gunakan di kantor pusat." Selain melibatkan pegawai negeri sipil yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam penciptaan SOP, sistem ini juga memupuk keterlibatan karyawan dalam memperbarui prosedur di seluruh tingkatan kementerian. Ke-33.000 pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta perubahan melalui sistem online, atau dapat mengirimkan permintaan saat mereka menyerahkan laporan triwulanan kepada kantor pusat. Para manajer di kantor-kantor pajak juga menganalisis pekerjaan secara teratur dan mencoba untuk menyederhanakan pekerjaan yang ada. Mereka bisa mengajukan permintaan kepada manajer SOP untuk melakukan perubahan jika suatu pekerjaan atau prosedur tidak sesuai lagi dengan masa kini atau dapat disederhanakan. Manajer SOP yang melakukan verifikasi permintaan tersebut akan mengirimkannya ke Biro Organisasi dan Proses Bisnis untuk mendapatkan persetujuan. Lalu biro ini melakukan investigasinya sendiri sebelum menyetujui atau menolak perubahan yang diajukan. Dan seiring berjalannya waktu, biro dan direktorat jenderal memulai proses sampling dan kajian SOP setiap tahun. Para manajer mengatakan bahwa sebagian besar permintaan yang valid mengakibatkan perubahan pada SOP, tapi ada beberapa permintaan yang tidak mengubah SOP. Para manajer merasa mudah untuk membuat modifikasi prosedural yang sederhana, tetapi masalah komplikasi muncul saat suatu revisi memerlukan dilakukannya perubahan pada peraturan perundangan yang berlaku. Wulandari, manajer SOP di Direktorat Jenderal Pajak, mengatakan, "Dalam kasus ini, kita hanya mengumpulkan data dan menyimpannya untuk melakukan perubahan deskripsi pekerjaan di masa depan." MENGATASI HAMBATAN Seiring dengan dimulainya implementasi ke-35 SOP prioritas ini, Harjowiyono dan anggota tim lainnya menyadari hambatan-hambatan yang terdapat dalam perubahan perilaku dan mempertahankan momentum reformasi. "Pada saat itu, tantangannya adalah untuk mempertahankan semangat reformasi," katanya. Upaya reformasi selalu mengedepankan budaya baru, dan reformasi SOP khususnya akan memperkenalkan cara kerja yang baru. Selain itu, SOP membuat sulit bagi para karyawan kementerian untuk meminta uang suap, yang telah memberikan penghasilan tambahan bagi beberapa karyawan. Banyak pegawai negeri sipil, termasuk beberapa manajer senior, ragu-ragu untuk melaksanakan perubahan yang diperlukan. Sanityas Jukti Prawatyani, kepala Kantor Wajib Pajak Kecil Gambir 1-salah satu dari beberapa lokasi pengajuan pajak di Jakarta-mengingat di tahun 2011: "Saat kita menerapkan reformasi di Direktorat Jenderal Pajak, ada beberapa karyawan yang suka bekerja dengan cara yang lama. Mereka tidak ingin berubah." Sangat sulit untuk memantau kantor-kantor regional dan lokal di seluruh negeri. Ketangguhan pribadi Sri Mulyani, kecerdasan manajerial dan dedikasinya merupakan faktor penting dalam mempengaruhi orang-orang ini, mereka yang terlibat dalam reformasi. "Kepemimpinan Sri Mulyani sangatlah tegas," kata Pakpahan. "Kepemimpinannya menghentikan perlawanan yang ada. Saat para pemimpin menunjukkan cara dan arahan yang jelas, para staf membaca sinyal yang ada dan ikut bergabung dalam reformasi." Sri Mulyani bertemu dengan tim reformasi secara berkala dan meminta pertanggung jawaban manajer tingkat atas untuk melaksanakan target-target tertentu. Harjowiyono berkata: "Dia bertemu dengan 11 kepala bagian dan bertanya mengapa beberapa bagian dari kementerian tidak memenuhi standar yang ada. Dia bertanya secara langsung. Dia menyebutkan bahwa salah satu indikator kinerja utamanya adalah reformasi ini dan mengatakannya secara terbuka. Dia mengatakan bahwa reformasi adalah agenda saya, jadi kita harus melakukannya." Meskipun Sri Mulyani adalah seorang manajer yang sangat menuntut kinerja tinggi, dia bekerja keras untuk membantu para anggota tim dalam menghadapi masalah dan menyelesaikan perselisihan yang ada. "Sri Mulyani memberikan dukungan," tambah Harjowiyono. "Setiap kali saya menghadapi masalah, saya bertemu dengannya. Saat itu, saya ingat kita bertemu dua kali dalam sebulan." Sri Mulyani juga memberikan insentif keuangan bagi para manajer tingkat atas. Di masa lalu, para manajer diizinkan untuk meningkatkan penghasilan dasar pegawai negeri sipil baru melalui tunjangan tunai tambahan. Namun, pegawai negeri sipil senior tidak diperbolehkan untuk menerima insentif tersebut. Sebagai bagian dari reformasi layanan sipil Sri Mulyani yang lebih luas dalam meminimalkan korupsi, para manajer tingkat atas ini menerima gaji tambahan yang kadang-kadang setara dengan beberapa kali gaji dasar mereka. Menyadari bahwa reformasi membutuhkan kerjasama di semua tingkat kementerian, Sri Mulyani dan para manajer tingkat memfokuskan diri mereka untuk mengambil hati para manajer tingkat menengah. Direksi umum bertemu dengan para manajer mereka untuk menjelaskan reformasi dan pentingnya kepatuhan yang diperlukan. Pada tingkat yang lebih rendah, arahan yang ada menjelaskan bahwa kepatuhan tidak bersifat opsional; pegawai negeri sipil segera paham bahwa mereka dapat dikenakan sanksi atau bahkan dipecat bila mereka tidak mengikuti prosedur standar yang berlaku. Usman mengatakan bahwa pesan dari para manajer tingkat atas jelas: "Jika Anda mengikuti prosedur, Anda telah bergabung dengan kami dalam reformasi. Jika tidak, maka Anda dipersilakan untuk bergabung dengan organisasi lain." Meskipun pelaksanaan SOP tertentu sering melibatkan penyesuaian karyawan tunggal atau sekelompok kecil karyawan terhadap prosedur baru, tim reformasi inti dan Direktorat Jenderal juga mengambil langkah-langkah untuk mendidik karyawan dengan mengadakan sesi-sesi lokakarya dan pelatihan. Di Direktorat Jenderal Pajak, Prawatyani mengingat serangkaian sesi yang dilakukan seperti: "Kami menyebutnya 'melatih sang pelatih' dan mengadakan pelatihan terhadap 700 karyawan perpajakan untuk menjadi pelatih. Selama sesi tersebut, kami juga melatih SOP-SOP baru dan bagaimana caranya mengubah pola pikir orang-orang yang akan mereka latih di kemudian hari." Melanjutkan tradisi yang dimulai pada tahun 1999, pada akhir tahun 2007, Sri Mulyani meminta Biro Organisasi dan Proses Bisnis untuk melakukan kontes pemilihan SOP prioritas yang akan mendapat peringkat tertinggi dalam hal kualitas dan kepuasan pelanggan. Para evaluator dari biro meminta Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, Manajemen Aset dan Pasar Modal, dan Keuangan untuk mengirimkan SOP prioritas ini. Para evaluator mengamati SOP dan melakukan survei pelanggan untuk memilih pemenangnya. Di tahun 2011, Direktorat Jenderal Keuangan memenangkan penghargaan ini. MENILAI HASIL PEKERJAAN Pada akhir tahun 2007, dua tahun setelah Sri Mulyani mendorong perbaikan prosedur yang ada, tim reformasi di Departemen Keuangan telah membantu mengembangkan 6.824 SOP di seluruh 11 Direktorat Jenderal yang ada.2 Dan dengan setiap direktorat jenderal membuat, meninjau dan menyempurnakan SOP setiap tahun, Departemen Keuangan telah menyelesaikan 10.762 SOP pada akhir tahun 2011.3 SOP mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses kerja dan menghemat uang. Di dalam Direktorat Jenderal Pajak, misalnya, penerbitan nomor identifikasi wajib pajak-sebuah layanan dengan permintaan tinggi dari masyarakat-hanya memerlukan waktu satu hari kerja di tahun 2007, dibandingkan dengan standar tiga hari di tahun-tahun sebelumnya. Proses restitusi pajak sekarang memakan waktu pengerjaan selama satu bulan, dibandingkan dengan satu tahun, dan permintaan pengecualian pajak pertambahan nilai hanya membutuhkan waktu tiga hari kerja, bukan tujuh hari kerja. Permohonan banding pajak membutuhkan waktu sembilan bulan, dan bukan setahun. Di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pegawai negeri sipil mengurangi waktu yang diperlukan wisatawan untuk melewati melalui jalur hijau-pos pemeriksaan bagi mereka yang membawa barang legal dalam batasan yang dapat diterima-dari empat jam menjadi 30 menit, dan jalur merah-untuk barang-barang terlarang atau barang dalam jumlah yang berlebihan-dari 48 jam menjadi 12,5 jam. Layanan ekspor membutuhkan waktu empat jam, turun dari sembilan jam yang diperlukan sebelumnya. Di Keuangan, perintah pencairan membutuhkan waktu satu jam dan bukannya 24 jam.4 Survei kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh lembaga independen seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung menunjukkan peningkatan persepsi publik terhadap layanan kementerian. Pada tahun 2006, survei pendapat oleh universitas ini menunjukkan bahwa 63,6% responden merasa puas dengan layanan dari kementerian. Jumlah ini meningkat menjadi 74,4% pada survei tahun 2008. Peningkatan kepuasan publik mencerminkan kinerja dari pegawai negeri sipil. SOP mengklarifikasikan tanggung jawab pekerjaan dengan memberikan informasi terperinci yang membantu karyawan kementerian dalam melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik dan lebih cepat. Manajer SOP Wulandari berkata: "SOP lebih dipahami dengan baik daripada deskripsi pekerjaan. SOP benar-benar memberitahu pegawai negeri sipil tentang bagaimana cara melakukan tugas dan pekerjaan mereka. SOP juga membantu memperbaiki deskripsi pekerjaan yang ada." Bersama dengan reformasi layanan sipil Sri Mulyani lainnya, peningkatan prosedur operasional di Kementerian Keuangan memberikan kontribusi pada pendapatan terukur yang dicapai oleh pemerintah Indonesia. Selama empat tahun pertama Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan, jumlah Warga Negara Indonesia yang membayar pajak penghasilan naik dari 4,3 juta orang pada tahun 2005 hingga hampir 16 juta orang pada tahun 2009, dan pendapatan pajak meningkat sebesar 20% per tahun.5 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menunjukkan perbaikan yang berkesinambungan, naik dari 2,2 pada tahun 2005 menjadi 2,6 pada tahun 2008 dan 2,8 pada tahun 2009 dan 2010. Meskipun beberapa dari peningkatan ini mencerminkan faktor-faktor lainnya, reformasi yang dilakukan oleh Sri Mulyani mengambil peranan yang sangat penting. Prawatyani berkata, "Presiden kita mengatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi semakin baik berkat kontribusi Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai." Pada tahun 2009, setelah memenangkan masa jabatan kedua, Presiden Yudhoyono menunjukkan penghargaannya atas hasil kerja Sri Mulyani dengan menempatkannya kembali sebagai Menteri Keuangan. Tidak mengherankan, masalah masih muncul dalam pelaksanaan dan pemantauan SOP, khususnya di kantor-kantor lokal dan regional di kawasan terpencil di wilayah kepulauan Indonesia yang luas. Beberapa kepala instansi gagal mendistribusikan prosedur baru ke lokasi-lokasi yang berjauhan atau tidak melakukan pengawasan dengan tingkat intensitas yang cukup. Ditambah lagi, dibutuhkan banyak waktu dan energi untuk membuat, merevisi dan memantau SOP. Dan restrukturisasi konstan di lingkungan Kementerian Keuangan menambahkan masalah ini karena pegawai negeri sipil menyiapkan SOP baru atau sering menghilangkan SOP lama yang sudah kadaluarsa. Beberapa kritikus menyatakan keraguan tentang pengaruh reformasi SOP pada kinerja pegawai negeri sipil. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa Sri Mulyani telah memamerkan beberapa keberhasilan kecil untuk mendorong kenaikan gaji yang lebih tinggi bagi para pegawai negeri sipil, tapi kinerja secara keseluruhan tidak meningkat dengan signifikan. Kabul Sarwoto, ahli pemerintahan di Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, sebuah yayasan untuk inovasi pemerintah daerah, berkata: "Ada kritik bahwa reformasi birokrasi kementerian dan kenaikan gaji untuk meningkatkan kinerja gagal dalam mencegah korupsi. Korupsi berskala besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak, sebagaimana dipublikasikan secara luas oleh media massa di Indonesia." Sarwoto merujuk pada kasus korupsi tahun 2010 di mana pengadilan menghukum seorang petugas pajak tingkat menengah karena mengantongi jutaan dolar uang suap. Meskipun pengunjung dari negara-negara tetangga seperti Filipina dan Kamboja sering datang untuk belajar tentang SOP dari Kementerian Keuangan Indonesia, tingkat pemerintahan lainnya di Indonesia tidak mencontoh model SOP ini. Eko Prosojo, wakil menteri di Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi, sebuah kementerian yang mengawasi reformasi layanan sipil, mengatakan pada tahun 2011: "Saya tidak melihat adanya kementerian lain yang mencontoh hal ini. Reformasi birokrasi ini kebanyakan digunakan oleh kementerian lain untuk mendapatkan insentif tambahan, bukan untuk meningkatkan proses bisnis dalam birokrasi." Meskipun sejumlah kementerian sedang berada dalam proses memulai reformasi layanan sipil, belum ada yang melakukan perubahan prosedural mendalam secara jauh, dan SOP belum diterapkan dengan baik. Meskipun demikian, reformasi SOP telah menghasilkan efek luas di dalam tubuh Kementerian Keuangan. Dengan perbaikan dalam layanan publik, kementerian ini memperoleh reputasi sebagai sebuah badan pemerintah yang berkinerja baik. Pegawai negeri sipil juga mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dalam cara mereka melakukan bisnis, bergantung pada prosedur konsisten dalam mempertahankan kualitas dan efisiensi pelayanan. Silaban, penasihat senior Menteri Keuangan pada tahun 2011, berkata: "Kami menyadari bahwa [reformasi SOP] memiliki banyak implikasi: kendali terhadap staf, akuntabilitas dan standarisasi. Di sebuah negara seperti Indonesia, SOP menjadi sangat penting. Saat auditor datang, mereka hanya cukup melihat pada SOP untuk memeriksa bagaimana tugas tersebut dilaksanakan. Pemerintahan menjadi lebih baik." REFLEKSI Kisah tentang bagaimana Kementerian Keuangan di Indonesia membuat dan mengimplementasikan standar operasional prosedur di seluruh jajaran birokrasi raksasanya menggambarkan pentingnya kekuatan pribadi dan keuletan di eselon tingkat atas terhadap upaya reformasi. Tekat Sri Mulyani Indrawati, ketekunan dan keterampilan manajerial memainkan peran utama dalam keberhasilan reformasi SOP di kementerian ini. Juni Hastoto, Kepala Biro Sumber Daya Manusia pada tahun 2011, berkata: "Kunci keberhasilan dalam reformasi SOP adalah komitmen dari pemimpinnya. Sri Mulyani sangat berkomitmen untuk menjalankannya. Bila menteri memiliki komitmen, maka Direktorat Jenderal dan pejabat eselon lainnya juga akan memiliki komitmen. Tanpa komitmen dari manajer tingkat atas, reformasi tidak akan berjalan." Marwanto Harjowiyono, Direktur Jenderal Kebijakan Fiskal tahun 2011, menambahkan, "Kita mengatakan kepada kementerian lainnya yang ingin belajar bahwa dukungan dari kepala unit sangatlah penting, dan kita mendapatkan dukungan dari Direktur Jenderal." Hubungan kerja Sri Mulyani yang dekat dengan para manajer senior dan penekanannya pada reformasi struktur kelembagaan membantu mempercepat pelaksanaan reformasi. Tim khusus melakukan reformasi SOP dan memantau kepatuhan pelaksanaannya. Kebijakan Sri Mulyani dalam mengadakan pertemuan dengan Direktur Jenderal secara berkala membantu mempertahankan fokus pada masalah-masalah utama dan terus memotivasi timnya. Reformasi SOP telah menetap dengan kuat pada saat Sri Mulyani meninggalkan Departemen Keuangan untuk menjadi Direktur Pengelola Bank Dunia pada tahun 2010. Harjowiyono berkata: "Dalam hal SOP, semangat reformasi di sini sudah ada. Saat ini, pegawai negeri sipil merasa tidak nyaman jika mereka tidak mengikuti reformasi, jadi reformasi sudah dilembagakan saat ini." Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Pada tahun 2011, Harjowiyono berkata bahwa kementerian harus mengembangkan para pemimpin muda untuk meneruskan semangat reformasi. "Berdasarkan pengalaman saya dalam menangani tim reformasi, ada petugas muda yang loyal dan berdedikasi yang dapat menjadi penggerak utama reformasi," katanya. "Mendorong generasi pemimpin berikutnya sangatlah penting." Syarat Penggunaan Sebelum menggunakan bahan-bahan yang diunduh dari situs web Innovations for Successful Societies, pengguna harus membaca dan menerima persyaratan yang kami sediakan. Persyaratan ini merupakan perjanjian hukum antara setiap orang yang mencari untuk menggunakan informasi yang tersedia di www.princeton.edu/successfulsocieties dan Universitas Princeton. Dalam mengunduh atau menggunakan informasi ini, pengguna menunjukkan bahwa a. Mereka memahami bahwa materi yang diunduh dari situs web ini dilindungi oleh UU Hak Cipta Amerika Serikat (Title 17, United States Code). b. Mereka akan menggunakan materi ini hanya untuk tujuan pendidikan, ilmiah, dan tujuan non-komersial lainnya. c. Mereka tidak akan menjual, memindahkan, menetapkan, memberikan lisensi, menyewakan, atau menyampaikan sebagian dari informasi ini kepada pihak ketiga manapun. (Publikasi ulang atau penampilan pada situs web pihak ketiga membutuhkan izin tertulis dari program Innovations for Successful Societies Universitas Princeton atau Perpustakaan Universitas Princeton.) d. Dalam semua publikasi, presentasi atau komunikasi lain yang memasukkan atau mengandalkan informasi dari arsip ini, mereka akan mengakui bahwa informasi tersebut diperoleh melalui situs web Innovations for Successful Societies. Sebuah format kutipan yang disarankan terdapat di bawah ini. [Pengarang dokumen bila terdaftar], [Judul dokumen], Innovations for Successful Societies, Princeton University, diakses pada http://www.princeton.edu/successfulsocieties pada [tanggal akses di situs web] e. Mereka memahami bahwa kutipan yang digunakan dalam studi kasus mencerminkan cara pandang pribadi dari pihak-pihak diwawancarai. Meskipun semua upaya telah dilakukan untuk memastikan keakuratan dari informasi yang dikumpulkan, Universitas Princeton tidak menjamin akurasi, kelengkapan, ketepatan waktu atau karakteristik lainnya dari setiap materi online yang tersedia. f. Mereka mengakui bahwa isi dan/atau format dari arsip dan situs web dapat direvisi, diperbarui atau dimodifikasi dari waktu ke waktu. g. Mereka menerima bahwa akses dan penggunaan arsip ini merupakan risiko dan tanggung jawab mereka sendiri. Mereka tidak boleh meminta pertanggung jawaban Universitas Princeton atas kerugian atau kerusakan yang diakibatkan oleh penggunaan informasi dalam arsip ini. Universitas Princeton tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian sehubungan dengan fungsi dari arsip ini. Innovations for Successful Societies (ISS) adalah program bersama dari Woodrow Wilson School of Public & International Affairs dan Bobst Center for Peace & Justice Universitas Princeton. Woodrow Wilson School mempersiapkan siswa siswinya untuk karir di bidang pelayanan publik dan mendukung penelitian ilmiah dalam hal kebijakan dan pemerintahan. Misi dari Bobst Center for Peace & Justice adalah untuk memajukan perdamaian dan keadilan melalui saling pengertian dan menghormati antara semua tradisi etnis dan agama-agama di dunia, baik antar negara bagian maupun di seluruh perbatasan negara. 1 Stefan S. Handoyo, "Sri Mulyani: Indonesian laureate in public governance," The Jakarta Post, 27 Mei 2010, http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/0.27/sri-mulyani-indonesian-laureate-public-governance.html (1 Februari 2012). 2 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Standar Operasional Prosedur, November 2011. 3Standar Operasional Prosedur, November 2011. 4Sri Mulyani Indrawati, "Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan," Forum Regional dalam Memperbaiki Pemerintahan di Asia (Jakarta, Indonesia), 14-16 November 2007. 5 Endi M. Bayuni, "Wanted: Big Foot for Finance Minister," The Jakarta Post, 14 Mei 2010, http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/14/commentary-wanted-big-foot-finance-minister.html(26 Januari 2012). --------------- ------------------------------------------------------------ --------------- ------------------------------------------------------------ Michael Scharff Innovations for Successful Societies 2 (c) 2012, Badan Pengawas Universitas Princeton Syarat penggunaan dan format kutipan ditampilkan di bagian akhir dokumen ini dan pada www.princeton.edu/successfulsocieties ISS adalah program bersama dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs dan Bobst Center for Peace and Justice: www.princeton.edu/successfulsocieties Rushda Majeed Innovations for Successful Societies 17 (c) 2012, Badan Pengawas Universitas Princeton Syarat penggunaan dan format kutipan ditampilkan di bagian akhir dokumen ini dan pada www.princeton.edu/successfulsocieties ISS adalah program bersama dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs dan Bobst Center for Peace and Justice: www.princeton.edu/successfulsocieties Deepa Iyer Innovations for Successful Societies Innovations for Successful Societies 19 (c) 2011, Badan Pengawas Universitas Princeton